Minggu, 20 Desember 2015

PANTAI WIDURI, SEDERHANA DENGAN SEJARAH MEMUKAU

  Pantai Widuri, adalah pantai yang terkenal di Kabupaten Pemalang, banyak pengunjung yang datang untuk sekedar menikmati sunrise atau sunset dan sekedar berjalan jalan. Pantai yang cukup bersih dan indah ini juga merupakan dermaga bagi perahu nelayan yang berlabuh serta sarana permainan air. Lokasinya yang mudah dijangkau dan biaya masuknya yang sangat murah menjadikan tempat ini populer dikalangan anak muda dan destinasi keluarga saat ingin liburan di wilayah Kabupaten Pemalang. namun dibalik keindahan nya terdapat goresan sejarah asal muasal nama pantai ini, berikut kisahnya
Abad ke 15, pesisir utara Jawa Tengah masih berupa hutan dan rawa-rawa.  Penduduk yang tinggal di daerah itu pun masih sedikit. Menurut legenda,  di pesisir yang sekarang menjadi Kabupaten Pemalang itu hiduplah sepasang suami istri, yaitu Kaki dan Nyai Pedaringan (Dalam versi lain adalah Ki Tanjang dan Nyai Tanjang, atau Ki dan Nyai Widuri)
          Pekerjaan Ki Pedaringan adalah bertani, menanam palawija dan semangka. Suatu hari, Nyi pedaringan menyiapkan sarapan di gubuknya, sedangkan Ki Pedaringan bekerja di sawahnya yang jaraknya sangat jauh.  Tiba-tiba di gubuknya datang seorang pemuda.  Ia meminta agar dijinkan masuk ke dalam gubuk.  Pemuda itu dalam keadaan berdarah di tangannya.  Nyi Pedaringan kaget melihat darah di tangan pemuda tadi.  Seperti ada senjata yang menancap. Dalam hati ia bertanya, “Siapa orang ini?”
Tak lama kemudian pemuda tadi memperkenalkan dirinya. Dia adalah Pangeran Purbaya. Punggawa Kerajaaan Mataram yang sedang mengemban tugas menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Salingsingan di Cirebon. Salingsingan ingin menguasai Tanah Jawa dari Mataram.
Akhirnya Salingsingan dapat dikalahkan dan Pangeran Purbaya selamat. Dalam perjalanan menuju Mataram, pangeran melihat gubuk dan hendak menghampiri untuk mengobati lukanya.  Nyai Pedaringan mencoba mengobati. Tak lama, Pangeran Purbaya berpamitan dan meningalkan sebuah keris sebagai tanda terima kasih.  Sang Pangeran berpesan bahwa keris yang bernama Simonglang itu agar dijaga dan dirawat.  Diharapkan keris itu dapat menjadi pusaka daerah itu dan yang berhak memiliki adalah anak turun keluarga Pedaringan.
Siapa pun tidak berhak nengambil keris itu kecuali Pangeran Purbaya, atau orang yang jarinya terpotong seperti jari Pangeran Purbaya.  Pangeran Purbaya meneruskan perjalanan ke selatan.  Di tengah perjalanan, ia harus melewati sungai kecil yang melintang (bahasa Jawa: malang) dari arah timur dan mengalir menuju barat yang lokasinya dekat dengan laut. Dia seperti mendapat petunjuk dari yang Mahakuasa untuk memberi nama daerah tersebut Pemalang.
Sore hari, Ki Pedaringan baru sampai di gubuknya.  Ki Pedaringan kesal dan heran karena biasanya Nyai Pedaringan membawakan makanan tetapi sampai sore Nyai Pedaringan tidak datang.  Kesal menjadi curiga karena melihat Nyi Pedaringan membawa sebuah keris yang biasanya dimiliki oleh seorang lelaki. Nyi Pedaringan menjelaskan dari mana ia mendapatkan keris itu.  Tapi, Ki Pedaringan tidak mau tahu.  Keduanya bertengkar.
Akhirnya Nyi Pedaringan mencabut keris untuk membuktikan rasa cintanya.  Ia memotong jarinya. Darah segar mengalir dari jari-jarinya yang lentik. Nyai Pedaringan bersumpah.  Jika darah yang ia teteskan di bunga widuri yang putih berubah menjadi ungu pertanda bahwa cintanya masih suci.  Bunga widuri itupun berubah warna menjadi ungu.
Ki Pedaringan pun menyesal dan meminta maaf, lalu ia menyusul Pangeran Purbaya namun ia tak pernah kembali lagi dan Nyi Pedaringan pun hidup men janda dengan bayi yang masih dikandungnya. Kemudian  Widuri pun dijadikan nama tempat kejadian itu berlangsung.
Banyak versi sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Pemalang, namun yang paling kuat adalah sejarah diatas. ada yang menyebutkan juga bahwa Nyai Widuri (Idu ri atau ludah duri atau disebut juga pembohong) adalah asal mula sejarah tempat tersebut.
(referensi : sinaubudayajawa.com, dengan penambahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar