Pantai Widuri, adalah pantai yang terkenal di Kabupaten Pemalang, banyak pengunjung yang datang untuk sekedar menikmati sunrise atau sunset dan sekedar berjalan jalan. Pantai yang cukup bersih dan indah ini juga merupakan dermaga bagi perahu nelayan yang berlabuh serta sarana permainan air. Lokasinya yang mudah dijangkau dan biaya masuknya yang sangat murah menjadikan tempat ini populer dikalangan anak muda dan destinasi keluarga saat ingin liburan di wilayah Kabupaten Pemalang. namun dibalik keindahan nya terdapat goresan sejarah asal muasal nama pantai ini, berikut kisahnya
Abad ke 15, pesisir utara Jawa Tengah masih
berupa hutan dan rawa-rawa. Penduduk yang tinggal di daerah itu pun masih sedikit. Menurut legenda, di pesisir yang sekarang menjadi Kabupaten
Pemalang itu hiduplah sepasang suami istri, yaitu Kaki dan Nyai Pedaringan (Dalam versi lain adalah Ki Tanjang dan Nyai Tanjang, atau Ki dan Nyai Widuri)
Tak lama kemudian pemuda tadi memperkenalkan
dirinya. Dia adalah Pangeran
Purbaya. Punggawa Kerajaaan Mataram yang
sedang mengemban tugas menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Salingsingan
di Cirebon. Salingsingan ingin menguasai Tanah Jawa dari Mataram.
Akhirnya Salingsingan dapat dikalahkan dan Pangeran
Purbaya selamat. Dalam perjalanan menuju Mataram, pangeran melihat gubuk dan
hendak menghampiri untuk mengobati lukanya.
Nyai Pedaringan mencoba mengobati. Tak lama, Pangeran Purbaya berpamitan
dan meningalkan sebuah keris sebagai tanda terima kasih. Sang Pangeran berpesan bahwa keris yang
bernama Simonglang itu agar dijaga dan dirawat.
Diharapkan keris itu dapat menjadi pusaka daerah itu dan yang berhak
memiliki adalah anak turun keluarga Pedaringan.
Siapa pun tidak berhak nengambil keris itu kecuali
Pangeran Purbaya, atau orang yang jarinya terpotong seperti jari Pangeran
Purbaya. Pangeran Purbaya meneruskan
perjalanan ke selatan. Di tengah
perjalanan, ia harus melewati sungai kecil yang melintang (bahasa Jawa: malang) dari arah timur dan mengalir
menuju barat yang lokasinya dekat dengan laut. Dia seperti mendapat petunjuk dari
yang Mahakuasa untuk memberi nama daerah tersebut Pemalang.
Sore hari, Ki Pedaringan baru sampai di
gubuknya. Ki Pedaringan kesal dan heran
karena biasanya Nyai Pedaringan membawakan makanan tetapi sampai sore Nyai
Pedaringan tidak datang. Kesal menjadi
curiga karena melihat Nyi Pedaringan membawa sebuah keris yang biasanya
dimiliki oleh seorang lelaki. Nyi Pedaringan menjelaskan dari mana ia
mendapatkan keris itu. Tapi, Ki
Pedaringan tidak mau tahu.
Keduanya bertengkar.
Akhirnya Nyi Pedaringan mencabut keris untuk
membuktikan rasa cintanya. Ia memotong
jarinya. Darah segar mengalir dari jari-jarinya yang lentik. Nyai Pedaringan
bersumpah. Jika darah yang ia teteskan
di bunga widuri yang putih berubah menjadi ungu pertanda bahwa cintanya masih
suci. Bunga widuri itupun berubah warna
menjadi ungu.
Ki Pedaringan pun menyesal dan meminta maaf, lalu ia menyusul Pangeran Purbaya namun ia tak pernah kembali lagi dan Nyi Pedaringan pun hidup men janda dengan bayi yang masih dikandungnya. Kemudian Widuri pun dijadikan nama tempat kejadian itu berlangsung.
Ki Pedaringan pun menyesal dan meminta maaf, lalu ia menyusul Pangeran Purbaya namun ia tak pernah kembali lagi dan Nyi Pedaringan pun hidup men janda dengan bayi yang masih dikandungnya. Kemudian Widuri pun dijadikan nama tempat kejadian itu berlangsung.
Banyak versi sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Pemalang, namun yang paling kuat adalah sejarah diatas. ada yang menyebutkan juga bahwa Nyai Widuri (Idu ri atau ludah duri atau disebut juga pembohong) adalah asal mula sejarah tempat tersebut.
(referensi : sinaubudayajawa.com, dengan penambahan)
(referensi : sinaubudayajawa.com, dengan penambahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar